Saturday, August 17, 2013

Firasat Tidak Pernah Berbohong #2 (maaf untuk #1 tidak saya publikasikan)

Saturday, August 17, 2013
[sabtu, 17/08 kurang lebih pk 8 malam, di sebuah gerai makanan]

Akhirnya aku memutuskan untuk menjenguknya. Entah kenapa, saat aku memikirkan hal itu, aku jadi yakin dan nggak ada rasa ragu lagi. Yang aku pikirkan cuma aku harus jenguk dia, aku harus bertemu dia, aku harus tahu keadaannya gimana.

Walau aku tahu dia sudah ada yang punya, hari-harinya diisi oleh seseorang, di hatinya ada perempuan lain, aku terima kenyataan itu. Bisa berhadapan dengannya lagi, saling bicara, cukup membuatku lega.

Tadi pagi aku benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih; aku terus mengulanginya: aku harus gimana, apa yang harus aku lakukan. Namun sekarang aku sangat tenang, sampai-sampai rasanya tidak ingin bicara dan berpikir tentang apapun. Bahkan tentang apakah dia masih menyimpan rasa terhadapku, itu bukan masalah lagi.

[masih sabtu, kurang lebih pukul 11 malam, di rumah]

Sepertinya aku belum bisa berdamai dengan rasa sesak ini. Sejak meninggalkan rumahnya, kesadaranku seakan melayang. Sulit sekali mengatakannya. Aku masih baik-baik saja ketika berpamitan dengan orang tua temanku, ketika sedikit bertukar cerita lalu say goodbye pada temanku itu sebelum aku pulang, dan ketika bertemu ibuku di ruang tamu; aku masih bisa ceria dengan beberapa guyonan-ku, membuatku kaget sendiri bahwa aku bisa semahir itu menutupinya.

Namun rasa pengap itu kembali menghampiriku saat aku sudah berada di dalam kamarku. Aku sendirian. Tidak ada yang melihatku bersikap aneh. Aku tidak melakukan apapun, tidak membereskan buku-buku, tidak memasukkan pakaianku yang sudah disetrika, bahkan aku belum menggantung jaket yang baru saja aku lepaskan; aku hanya menaruhnya saja. Aku hanya tergeletak tidak beraturan di atas kasurku, memeluk guling, dan menenggelamkan wajahku di sana.

Aku mengingatmu. Tanpa terasa pipiku basah. Satu.. dua.. tiga.. aku tidak bisa menghentikannya. Ia terus memaksa keluar, dan aku sama sekali tidak keberatan. Sekalian menghantarkan nafasku yang berat. Rasanya aku tidak sanggup melihatmu seperti itu. Setelah sekian lama, akhirnya aku berani menemuimu terlebih dulu. Tapi kenapa kamu harus begini baru aku bisa mengalahkan egoku? Huh..

Sekarang ini aku sudah cukup bisa mengendalikan diri. Belum lelah untuk tertidur, namun tidak sebaik itu untuk bisa melakukan hal-hal yang produktif. Sebaiknya aku berdoa untukmu, seperti yang sebelum-sebelumnya aku lakukan. Dan aku meminta maaf atas menyelipkan namamu dalam harapan-harapanku tanpa meminta izin kepadamu terlebih dulu.

No comments:

Post a Comment

ERENA's © 2014